Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jika Pengalaman adalah Guru Terbaik, Maka Menjadi Guru adalah Pengalaman Terbaik saya

Jika Pengalaman adalah Guru Terbaik, Maka Menjadi Guru adalah Pengalaman Terbaik saya
Biang kerok di sekolah adalah julukan bagi mereka. Ya anak-anak yang membuat kening guru piket berkerut 190 %.

Guru juga manusia biasa, tentunya jengkel menghadapi murid yang nakal. Namun pengalaman saya memenangkan lomba debat dengan anak-anak paling nakal di sekolah Kanaan Jakarta; memberi satu refleksi bawa tidak ada anak yang sulit, yang ada hanya orang tua dan guru yang kesulitan mendidik anak.

Murid pintar dengan segudang prestasi, jika memenangkan perlombaan bagi saya itu biasa. Namun jika murid yang biasa-biasa saja tetapi mampu memenangkan perlombaan yang sifatnya mengasah nalar itu  luar biasa.

Belajar "Gila" adalah Tindakan Terbaik saya Selama Menjadi Guru

Berikut ini pengalaman saya bersama Gio dan Willy. Dua orang murid saya. 

Mereka termasuk biang permasalahan di kelas maupun di sekolah tempat saya mengabdi.

Setidaknya begitulah kesan yang saya dapat di ruang guru. Bersama mereka saya sadar bahwa ternyata setiap anak itu berharga.

Mengapa?

Awal tahun 2016, SMA Kanaan Jakarta diundang oleh SMA Negeri 2 Jakarta Barat untuk mengikuti lomba debat. 

Meski ini ajangnya dies natalis sekolah. Namun peserta yang mengikuti debat kualitasnya nasional.

Ada tuan rumah yang pernah jadi finalis LDBI nasional, ada SMA Penabur yang pernah jadi juara LDBI tingkat propinsi tahun sebelumnya.

SMA Kanaan Jakarta, kapasitasnya apa?

Sejujurnya kami bukanlah tim lemah dalam ajang debat. Boleh berbangga bahwa untuk ukuran kota madya setidaknya kami patut diperhitungkan. Kami memiliki 2 orang pembicara debat terbaik tingkat propinsi DKI Jakarta dan beberapa bibit unggul yang saya bina di club debat SMA Kanaan Jakarta.

Artinya bahwa kami bukanlah tim pelengkap, tetapi bukan juga tim juara, hanya seperti tim kuda hitam yang memiliki kualitas lebih, seperti itulah gambarannya.

Sejumlah persiapan sebelum lomba pun kami lakukan. Saya sebagai Pembina club debat dan sejumlah siswa-siswi yang mengikuti club tersebut.

Mulai dari analisis lawan, mengkaji mosi, hingga praktek kami lakukan. Namun sayangnya tidak pernah lengkap personil debat yang ada. 

Ada saja kendala dari anak-anak yang kemampuan debatnya paling baik diantara murid SMA Kanaan Jakarta.

Jika Pengalaman adalah Guru Terbaik, Maka Menjadi Guru adalah Pengalaman Terbaik Saya

Debat adalah ajang perlombaan tim, bukan perorangan, jika kordinasi dan kesamaan presepsi tidak dibangun maka bisa jadi antara pembicara 1,2, dan 3 beda dasar argumennya.

Jika demikian maka siap-siaplah dengan kekalahan, sebab itu adalah hal yang paling mendasar dalam debat. Pikir saya saat itu.

Akhirnya saya memutuskan bahwa yang ikut debat di SMA Negeri 2 Jakarta Barat bukan anak-anak club debat. Melainkan kupilih tiga orang anak yang jauh dari harapan semua orang.

Pilihan saya menimbulkan kontraversi di sekolah. Pimpinan mempertanyakan keputusan saya sebagai pelatih debat, rekan-rekan guru meragukan dan juga bingung dengan keputusan saya. Sebab memilih 3 orang anak IPS yang terkenal paling nakal dan secara akademik pun bukan termasuk anak pintar untuk mengikuti debat.

Di sisi yang lain ada dua orang pembicara terbaik tingkat propinsi tidak saya pilih, dan beberapa orang siswa-siswi yang pernah menjuarai kejuaraan debat SMA se Jabotabek tidak saya pilih.

Banyak suara mempertanyakan alasan saya memilih 3 orang murid yang bukan jagoan debat dan mengabaikan jogaan-jogaan debat yang pernah saya tangani dan terbukti sudah jadi juara.

Saya sadar bahwa keputusan saya pasti menimbulkan sedikit polemik. Namun saya berusaha meyakinkan semua yang meragukan pilihan saya dengan mengatakan bahwa 3 orang siswa tersebut memiliki potensi yang tersembunyi.

Sejujurnya itu hanya kata kosong, karena saya sendiri pun menyadari bahwa ketiga anak tersebut potensi debatnya jauh diantara semua anak debat yang saya bina di club debat.

Bahkan mereka bertiga tidak termasuk anak-anak debat. Namun saya ingin meyakinkan semua orang bahwa anak-anak ini bisa melakukan apa yang tidak mungkin menjadi mungkin jika di percaya dan di beri kesempatan.

Itu saja, selebihnya saya pun bingung dan tidak tahu apa yang harus saya lakukan, lomba tinggal sehari, semantara anak-anak yang saya pilih sama sekali belum memahami apapun tentang debat, semuanya, termasuk mental, skil dan teknik debat. 

Keputusan karena ego dan emosi sesaat selalu menimbulkan masalah bagi diri sendiri maupun orang lain yang terkait.

Itulah kesan yang kini saya pahami dari keputusan gila saya itu.

Sekarang apa?, saya memanggil ketiga anak tersebut dan mengatakan maksud dan tujuan saya. “Bapak tidak salah pilih kami bertiga?” tanya satu diantara ketiga anak yang saya panggil siang itu.

“Tidak!” jawab saya dengan yakin dan serius. Sejujurnya itu hanya acting sebab saya pun ragu dan seperti menyesali keputusan saya. Namun saya tidak menunjukan hal itu karena tidak ingin membuat mereka tidak percaya diri.

Lantas selanjutnya, saya katakan kepada ketiga anak tersebut.

“Kalian mau dikenal sebagai anak nakal dan biang kerusuhan di sekolah ini atau anak yang berprestasi?”, serentak mereka menjawab, “ya prestasilah pak”,

“Jika demikian maka ini adalah kesempatannya, buktikan!” kata saya dengan cukup tegas dan sangat meyakinkan saat itu.

Sunyi, tak satupun yang menjawab, anak-anak itu terbenam dengan pikiran mereka masing-masing.

Kutepuk pundak mereka dan kuyakinkan mereka bahwa mereka bisa. “saya percaya kalian bisa” setelah kata itu terucap saya pun pergi menuju kantor, berkemas dan segera pulang karena waktu telah menunjukan pukul 4.30 WIB.

“Lah pak, gimana ne” ketiganya berlari mengejar karena tahu saya akan segera pulang.

“Apanya yang gimana” tanya saya saat itu.

“Lha lombalah pak”, “gila bapak bercandanya kelewatan ne” kata salah seorang diantara mereka padaku.

“Saya tidak bercanda”, kata saya dengan tegas.

“Melainkan saya sangat mempercayai kalian bertiga karena saya tahu kalian pasti tidak akan mengecewakan saya” jelas saya lebih lanjut kepada ketiga anak inspirasi itu.

Sesaat kemudian saya pun pergi meninggalkan mereka yang kebingungan. Saya tahu ini tindakan nekat, bahkan paling nekat seumur hidupku.

Entah salah atau benar dengan keputusan saya hanya kepasraan sajalah yang kulakukan. 

Memanagkan Lomba Debat Modalnya Hanya Percaya Pada Siswa

Kegiatan lomba debat pun dimulai, sebagai pembina idealnya saya berada dengan siswa untuk memberikan suport. Namun tidak saya lakukan karena didorong oleh rasa tidak yakin. Sebelum saya meninggalkan mereka untuk beberapa menit, hanya satu kalimat pendek yang saya katakan saat itu. "Buktikan jika kalian tidak seperti yang dikatakan orang".

Salah satu siswa yang terkenal paling nakal, menghampiri saya dan katakan, "beh" sebutan untuk bapak dalam dialek Betawai, "terima kasih banyak sudah percaya pada kami".

Pembicaraan tidak berlanjut dan saya segera meninggalkan anak - anak itu.

Sekitar pukul 11.00 WIB ada sebuah pesan via line berbunyi, "sir gio mereka masuk semi final, lawannya dari Penabur".

Segelas kopi hitam yang menemani saya di warung sederhana itu kutinggalkan. Bergegas menuju anak - anak inspirasi itu. Sesampai di sana (ruang debat) kusaksikan mereka pucat dan seperti tidak percaya diri. "beh gimana ne, penabur beh" ucap salah seorang anak. 

Saya hanya diam menatap mereka satu persatu. Kubiarkan mereka dengan gelisahnya. 5 menit sebelum semi final saya kumpulkan mereka semua dan katakan, "Nak kalau sudah basah maka basah sekalian, pergi dan menangkan!, saya percaya pada kalian semua". Hanya itu wejengan saya. Kemudian mereka melangkah dengan pasti, sembari tepukan penyemangat kusematkan dipundak mereka. 

Mujisat terjadi, anak - anak yang dicap biang kerok di sekolah itu mengalahkan Penambur, rajanya debat tingkat propinsi DKI. Kini mereka harus melangkah maju untuk menjadi yang terbaik, Final debat. Lawannya bukan sembarangan, tuan rumah SMA Negeri 2. Reputasi mereka tentang debat tidak perlu diragukan lagi. Namun muridku cukup percaya diri.

Singkat cerita kami kalah di final. Hanya juara 2 tetapi saya bangga karena proses yang kami lalui. Setidaknya inilah pengalaman terbaik saya menjadi guru kampung di ibu kota negara yang hebat ini. Rahasianya apa?. Silakan baca tulisan yang berjudul 7 cara membuat guru bahagia dan murid senang dalam belajar.

Martin Ruma

Guru kampung dan blogger newbie

Posting Komentar untuk "Jika Pengalaman adalah Guru Terbaik, Maka Menjadi Guru adalah Pengalaman Terbaik saya"